Aku lahir di Kabupaten
Batang. Setamat SMP aku merantau ke Kendal, kabupaten tetangga, untuk belajar
di Pesantren. Kata bapakku merantau sangatlah penting.
“Orang yang
berilmu dan beradab tidak akan berleha-leha saja di kampung halaman.
Merantaulah! kau akan mendapat ganti dari kerabat dan kawan-kawan. Singa tidak
akan dapat mangsa jika ia hanya diam saja dikandang bukan?[1]”. Kata
bapakku.
“Belajar
hukumnya wajib, Le[2].
Nabi menyuruh umatnya belajar sampai ke Tiongkok. Kendal itu bukan Tiongkok.
Jadi, kamu harus kerasan di sana. Kami doakan kamu berhasil dalam menuntut
ilmu. Nabi dulunya juga pernah merantau. Hijrah lebih tepatnya. Beliau hijrah
dari Mekkah ke Madinah. Padahal, Mekkah itu kurang apa. Rumah Allah ada di
sana. Tapi, beliau ingin mengajarkan kepada umatnya agar mau hijrah untuk
mencapai tujuan yang lebih baik.” Ibuku menimpali.
Bapak memang
perantau sejati. Beliau bukan orang asli sini. Bapak sewaktu muda
berpindah-pindah dari satu pondok ke pondok lain untuk menuntut ilmu sebelum
akhirnya menetap di kampung ini untuk menyebarkan agama kemudian menikahi ibu.
Aku dipasrahkan
ke Kiai Ahmad. Pesantrennya bernama Al-Itqon yang berada di Desa Kebonharjo
Kecamatan Patebon. Bapak dikenal tidak sembarangan mencari Kiai. Kiai yang
dipilih bapak haruslah yang memiliki intelektual keilmuan yang tinggi dan ilmu
tasawwuf mendalam. Pilihan bapak jatuh ke Kiai Ahmad setelah bapak merasa cocok
bahwa Kiai Ahmad adalah orang yang tepat untuk mendidik anaknya. Setelah
menyerahkanku ke pesantren dan mengurusi administrasi, bapak dan ibu pamit
meninggalkanku. Kuciumi tangan bapak lama sekali. Tangan bapak kasar. Beliau
adalah petani di kampung. Dari tangan kasar bapak inilah kami sekeluarga bisa
hidup meskipun sederhana. Sedangkan ibu sehari-hari membantu bapak di sawah.
Di pesantren
aku sempat kaget dengan padatnya jadwal mengaji. Dari bangun tidur hingga tidur
lagi semua rutinitas santri tidak pernah lepas dari kitab. Kalau tidak mengkaji
kitab, ya mengahafalkan nazam untuk disetorkan kepada ustadz. Pilihan bapak
memasukkanku ke pesantren ini tidaklah keliru. Kiai Ahmad memang benar-benar
mempunyai ilmu yang sangat luas. Kata-katanya penuh tenaga dan mengandung
kearifan. Segala tindak-tanduknya tidak sembarangan, melainkan mencontoh perilaku
Nabi. Ilmunya bagaikan air laut di samudera yang maha luas. Mata air yang tiada
habis-habisnya untuk digali. Sedangkan kami, para santrinya, bagaikan seseorang
yang mengambil manfaat terus menerus dari mata air tadi.
Teman-teman di
pesantrenku tak kalah istimewa. Semangat belajar mereka sungguh luar biasa.
Mayoritas penghuni pondok ini berasal dari kalangan ekonomi bawah sepertiku.
Tapi, faktor ekonomi tidak menghalangi kami untuk belajar. Bukankah pendidikan
merupakan hak semua orang? Bukankah ilmu itu bisa didapatkan meskipun tanpa
mengeluarkan uang yang banyak? Memang yang namanya jer basuki itu pasti mawa
bea. Tapi tidak harus mengeluarkan bea yang sangat besar untuk
menjadi basuki.
Ada salah satu
temanku bernama Harto. Ia juga dari keluarga tidak mampu. Bila malam ia sering
tidak tidur hanya untuk mengulang-ulang pelajaran. Ia bisa mengulang sampai seratus
kali. Bila berjalan ia menundukkan pandangan karena merasa tidak pantas menatap
langit sampai ia benar-benar bisa mengaji. Ada juga teman yang makan tiga hari
sekali. Akibatnya, ia hanya buang air besar tiap setengah bulan sekali. Ada
juga yang sampai mencampur beras dengan pasir di dalam satu kantong kresek. Di
bawah kantong kresek itu ia lubangi. Bila tiba saatnya masak, ia akan
menggoyang-goyangkan kresek tersebut. Jika yang keluar adalah beras, berarti
jatahnya ia makan. Bila yang keluar pasir, itu pertanda ia harus puasa.
Aku salut pada
mereka semua. Meskipun tertimpa masalah ekonomi hingga mau makan saja sulit,
tapi gairah mengaji mereka sungguh luar bisa. Mereka semua mempunyai impian
agar bisa membaca kitab kuning. Disebut kitab kuning karena warnanya memang
kuning. Kitab tersebut mempunyai keunikan yaitu ditulis dengan menggunakan
bahasa arab tanpa harakat. Untuk bisa membacanya, harus terlebih dahulu
menguasai gramatika bahasa arab yaitu Nahwu dan Shorof. Pelajaran Nahwu dan
Shorof ini biasanya disajikan dalam bentuk puisi arab atau biasa dikenal nazam.
Nazam Nahwu yang paling populer dan prestisius di kalangan santri adalah nazam
Alfiyah karya Syekh Ibnu Malik. Nazam ini berjumlah seribu dua bait. Menurut
Kiai Ahmad, siapapun yang bisa
menghafalkan nazam ini, selain akan dimudahkan membaca kitab kuning, juga akan
mendapatkan tiga keberkahan. Diberi ilmu yang manfaat, harta yang cukup dan
istri yang sholehah. Nazam ini juga serupa pintu gerbang yang akan membawa
pengahafalnya memahami ilmu agama yang lebih luas. Tapi itu tidak mudah. Ada
saja rintangan yang datang ketika santri sudah mulai mengahfal Alfiyah. Aku
bercita-cita untuk bisa menghafalkannya.
Aku sendiri
sedikit lebih beruntung dibandingkan teman-temanku itu. Kiriman dari orang tua,
meskipun tidak banyak, cukup untuk biaya keperluanku sehari-hari. Meskipun
begitu, aku iri dengan kesederhanaan mereka dan suatu saat ingin mencontohnya.
Makanya kirimanku yang tidak seberapa itu sebisa mungkin aku sisihkan. Siapa
tahu ada kebutuhan yang mendesak.
Tak terasa
sudah dua tahun aku di sini. Itu berarti tahun depan aku akan mulai menghafalkan
Alfiyah. Alfiyah hanya diajarkan jika sudah menginjak kelas tiga Tsanawiyah
kemudian disambung dua tahun di Aliyah. Jadi, hanya ada waktu tiga tahun untuk
menghafal. Namun sepucuk surat dari rumah membuatku gusar.
“Ananda Edi
anakku. Sawah di kampung sedang sulit. Kemungkinan tahun ini gagal panen. Bapak
harap ananda dapat menghemat pengeluaran. Hanya segini uang yang dapat bapak
kirim. Jangan risaukan nanti kamu makan apa. Percaya saja kepada Allah SWT. Dia
Maha Menanggung rizki hamba-Nya.Teruskan belajarmu. Bapak dan ibumu senantiasa
mendoakanmu dari sini.”
Ingin rasanya
aku pulang dan membantu bapak di sawah. Tapi, bapak tetap menguatkanku agar aku
melanjutkan belajarku. Aku masih punya tabungan lumayan untuk memutupi
kebutuhanku.
Tapi, keadaan
di rumah saat itu benar-benar sedang sulit. Panen lagi-lagi terancam gagal.
Kiriman dari bapak hanya bertahan selama tiga bulan. Untung saja aku sudah
terbiasa hidup irit. Pengalaman berteman dengan teman-teman yang serba
sederhana sedikit banyak mebantuku beradaptasi dengan keadaan sulit ini.
Kebetulan, tidak jauh dari pondokku ada teman bapak satu pondok yang sudah
sukses dengan membuka toko kelontong. Bapak memintanya agar aku diijinkan
bekerja membantunya dengan upah seadanya. Teman bapak dengan senang hati
menerimanya.
Jadilah
rutinitasku pagi hari bekerja sebagai pelayan toko, sedangkan malam harinya
mengaji. Sangat berat membagi waktu antara bekerja dan belajar. Di satu sisi
aku juga harus menghafalkan Alfiyah. Butuh ketekunan ekstra keras agar seribu
nazam itu bisa aku kuasai. Cita-citaku sudah bulat. Aku harus menaklukkan
Alfiyah!.
Aku menghafal
laksana orang gila. Kadang di toko di sela-sela tidak ada pelanggan yang
datang. Kadang di jalan sambil berjalan menuju toko. Pada waktu jam kosong aku
tidak bisa lagi berguarau karena harus mengejar target. Malam harinya kadang
aku pergi ke kuburan yang sepi agar bisa fokus menghafal. Tidak ada waktu tanpa
mengahafal. Di saku bajuku selalu ada nazam agar sewktu-waktu aku bisa
membukanya. Tentu saja, pelajaran yang lain tidak aku tinggalkan. Aku ingin
menguasai semua ilmu yang diajarkan di pesantren ini. Tiga tahun akhirnya
terlalui. Alhamdulillah, dengan usaha keras diiringi doa, aku akhirnya bisa
mengkhatamkan seribu dua bait.
**********
“Acara
selanjutnya adalah sambutan dari kepala sekolah SD IT Mutiara Rahmah Balikpapan
yang akan disampaikan langung oleh Bapak Kepala Sekolah Bapak Edi Purwanto, M.Pd.
Kepada Beliau waktu dan tempat kami persilakan.
Perjalanan
hijrahku membawaku menjadi kepala sekolah di Balikpapan. Selepas dari pesantren
Al-Itqon, aku mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain untuk
menyempurnakan ilmu agamaku hingga akhirnya aku lulus perguruan tinggi. Alhamdulillah, dengan menjadi kepala sekolah
aku bisa hidup berkecukupan. Aku menikah dengan seorang gadis cantik rupawan
sekaligus sholehah di Balikpapan. Berbekal nazam Alfiyah, semua ilmu terasa
mudah untuk dipelajari. Segala sesuatu terasa mungkin terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar