Sabtu, 01 Juni 2019

Tarling: Akulturasi Dini Santri

Sebuah Refleksi.

Setiap ramadan tiba, pesantren kami (Al-Munawwir, Gringsing) melakukan kegiatan yang mungkin tidak dilakukan pesantren lain yakni Tarling (tarawih keliling). Kegiatan ini sendiri berupa sebagian santri diterjunkan secara langsung ke daerah (umumnya pedesaan), mulai siang hari sampai malam.

Bentuk kegiatannya sendiri berupa tadarrusan di setiap musolla dan masjid yang kami kunjungi pada bada asar sampai waktu berbuka. Dilanjutkan takjil kemudian jamaah maghrib. Setelah maghrib buka bersama di tempat tuan rumah yang mengundang. Dilanjutkan jamaah isyak dan terawih. Setelah terawih itulah merupakan puncak acara yang diisi dengan semacam pengajian umum yang semuanya dihendel oleh santri, mulai dari MC sampai maidhoh hasanah.

Tujuan awal kegiatan ini sebenarnya merupakan rangkaian promosi dari pondok kami kepada masyarakat agar masyarakat tertarik memondokkan anaknya di pondok pesantren kami. Cara ini kami anggap lebih efektif ketimbang harus promosi ke sekolah-sekolah lain untuk menarik santri. Dan, cara itu ternyata terbukti, banyak orang tua santri tertarik memondokkan anaknya ke pondok kami lantaran setelah mengikuti acara tarling di kampungnya.

Selain sebagai sarana promosi, acara Tarling itu sendiri sebenarnya juga merupakan salah satu wahana bagi santri untuk unjuk gigi di depan masyarakat sesungguhnya. Selama satu tahun di pondok, santri sudah dibekali bagaimana caranya menjadi MC, bagaimana caranya memimpin tahlil, dan bagaimana caranya berpidato. Santri sudah digembleng di pondok sebagai kawah candra dimuka, agar kelak ketika santri kembali ke masyarakat sudah siap mengabdi di masyarakat. Nah, pada saat tarling itulah kemudian menjadi semacam KKN kilat bagi para santri. Lihatlah, para santri-santri kami berani berpidato layaknya dai yang jadi juara AKSI.

Selain sebagai sarana berlatih santri, kegiatan tarling ini dalam tahap selanjutnya menjadi semacam proses akulturasi santri itu sendiri dengan budaya masyarakat yang dikunjungi. Meskipum daerah yang kami kunjungi masih sekadar di lingkungan Nahdliyin, tapi budaya antar masyarakat itu sendiri sudah berbeda-beda, terutama dalam soal pelaksanaan ibadah tarawih. Meski sama-sama NU, tapi soal teknis tarawih sendiri antar daerah tak jarang banyak yang berbeda.

Ambil contoh di daerah Lanji. Ternyata masyarakat yang tarawih di masjid jumlahnya sedikit sekali. Usut punya usut, setiap gang di sana memiliki musolla sendiri, sehingga masyarakat lebih banyak memilih tarawih di musolla daripada di masjid. Di Lanji juga kami baru mengetahui kalau ada semacam hajatan, warga di sana harus diberi undangan resmi sebagai bentuk undangan kehadiran. Jadi tidak cukup hanya melalui undangan dengan speaker di masjid dan musolla karena masyarakat di sana bila tidak diberi undangan khusus akan menganggap acara tersebut merupakan acara pribadi atau untuk umum tapi hanya untuk kalangan tertentu saja.

Di Tanjung Sari, Rowosari beda lagi. Meski tergolong masjid NU, namun jumlah rakaat shalat tarawih di sana adalah 8 rakaat plus witir 3 rakaat, seperti yang biasa dijalankan oleh warga Muhammadiyah. Namun pelaksanaan 8 rakaat tersebut ternyata lebih lama ketimbang 23 rakaat yang biasa dilakukan para santri di pondok. Ternyata, dalam sejarahnya masjid itu dulu pernah "dimiliki" oleh warga Muhammadiyah, kemudian "diambil" alih lagi oleh orang NU. Akan tetapi masyarakat di sana telah terbiasa tarawih 8 rakaat, sehingga sampai sekarangpun tarawih di sana tetap 8 rakaat.

Proses akulturasi itu menjadi penting bagi para santri agar sejak dini mereka sudah mengenal berbagai macam budaya masyarakat yang beragam. Hal ini sebagai bekal sekaligus pendidikan awal bagi para santri agar kelak ketika terjun di masyarakat tidak mudah menyalahkan praktik ibadah di masyarakat kelak ketika mereka bernaung. Jangan sampai di kemudian hari ada santri yang menyalah-nyalahkan budaya masyarakat hanya karena berbeda dengan yang selama ini dia ketahui di pondok.

Ini juga tidak hanya berlaku pada aspek shalat tarawih saja, melainkan kepada semua budaya yang ada dan berlaku di masyarakat. Santri harus memiliki timbangan sendiri apakah budaya tersebut berlawanan dengan syariat atau tidak. Bila tidak berlawanan, maka seyogyanya budaya yang ada dapat dilestarikan dengan baik. Bila itu berlawanan dengan syariat, santri seharusnya juga tidak perlu mengecam dan menganggap budaya itu sesat ala orang-orang garis keras yang semakin hari semakin kencang saja mengkafir kafirkan orang yang tidak sepahaman dengan golongannya. Yang harus dipakai oleh santri seharusnya adalah ilmunya para wali songo yang berhasil mengislamkan tanah nusantara tanpa kekerasan dan tanpa perlu menumpahkan darah setetespun.

Adapun soal tarawih itu sendiri, patut ditekankan bahwa hukumnya adalah sunnah. Sehingga ketika ada perbedaan jumlah rakaat, hal itu tidk perlu terlalu diperdebatkan karena masih termasuk lingkup furu', bukan ushul. Dalam sejarahnya sendiri, praktik shalat tarawih yang ada sekarang ini berbeda dengan yang ada di jaman Nabi Saw dulu.

Selain soal akulturasi tadi, kegiatan Tarling ini sendiri sebenarnya juga merupakan sebuah usaha menciptakan panggung bagi para santri. Dewasa ini, panggung dakwah tanah air diisi oleh orang-orang galak, yang kerjaannya marah-marah kepada golongan lain yang tidak sepahaman dengan golongannya. Mereka ini rajin mengutip dalil yang sepotong-potong kemudian ditafsirkan sesuka hati mereka, padahal ilmu tasrif saja mereka tidak bisa. Konten dakwah yang mereka bawa jauh dari islam yang sudah ratusan tahun berkemban di nusantara melalui islam yang moderat dan damai. Tapi sekarang justru mereka ini yang membajiri konten dakwah tanah air, khususnya di ranah media sosial.

Dengan adanya kegiatan Tarling ini diharapkan para santri sudah berani tampil di masyarakat untuk ikut membendung dakwah-dakwah yang bernuansa kekerasan dan jauh dari paham takfiri.

Wallahu a'lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tarling: Akulturasi Dini Santri

Sebuah Refleksi. Setiap ramadan tiba, pesantren kami (Al-Munawwir, Gringsing) melakukan kegiatan yang mungkin tidak dilakukan pesantren lai...