Sabtu, 12 Mei 2018

Posonan

Sepanjang ingatan saya, selama bulan Romadhon, pondok kami selalu membacakan kitab-kitab yang membahas tentang pernikahan. Dulu saya masih ingat pernah mengaji kitab Adabuzzifaf. Tradisi ini berlangsung dari tahun ke tahun dengan kitab yang berbeda-beda hingga sekarang kitab yang dikaji adalah Uqudul Lujain. Ini berarti bagus. Mengapa? Karena alumni dari pondok kami seharusnya tidak ada masalah ketika kelak menikah besok. Kami sudah tahu hak-hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami istri bahkan sejak kami belum melaksanakannya.

Persoalan hak dan kewajiban suami istri itu paling penting. Akan tetapi, kebanyakan orang justru tidak menyadarinya. Mereka menikah tanpa tahu apa saja yang harus dilakukan sebagai pasangan suami istri. Hal inilah yang kadang menjadi sumber konflik antara suami istri.

Suami, misalnya, wajib memberikan mahar kepada istrinya. Apalagi bagi istri yang sudah dikumpulinya, kewajiban membayar mahar tidak boleh ditunda-tunda lagi. Suami juga wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal yang layak bagi istrinya, menggaulinya dengan cara yang baik, tidak boleh melakukan kekerasan dan tidak boleh menghina istrinya.

Istri wajib taat kepada suami. Bagaimanapun juga, suami adalah pemimpin rumah tangga, sehingga seberapa tinggi pangkat istri atau seberapa besar penghasilannya suami tetaplah yang menjadi nahkoda rumah tangga. Istri juga harus selalu bersedia digauli, kecuali ada halangan syari, meskipun sedang tidak mood (dalam literatur klasik bunyinya memang seperti itu dan sekarang sudah banyak diprotes oleh aktifis gender hahaha). Istri juga sebenarnya tidak boleh keluar rumah tanpa ijin dari suami. (Wes ah semene wae pembahasan kewajiban-kewajiban, ndak ono seng protes: "halah koe wae durung nglakoni kok leeeeee". Wkwkwkwk)

Jangan pernah berharap literatur kitab kuning akan membahas tentang seks. Pembahasan dalam pernikahan tidak melulu soal seks saja. Nikah ya nikah. Seks adalah soal lain. Apakah ada pernikahan tanpa seks atau seks yang tidak berkualitas? Banyak. Apakah ada seks tanpa nikah? Itu malah lebih banyak lagi. Kalau mau tahu tentang seks ya jangan baca dari literatur kitab kuning yang beredar di pesantren (tentu saja ada kitab yang membahas tentang itu tapi biasanya tidak dibacakan secara umum. Hanya santri yang betul-betul pengalaman mutholaah berbagai kitab saja yang tahu), tapi baca saja kamasutra. Seingat saya dalam kitab Uqudul Lujain hanya dibahas tiga posisi seks. Satu disunahkan, dua dilarang. Selebihnya ya hanya membahas tentang seluk beluk rumah tangga.

Yang jadi persoalan saya pada kitab yang disajikan dalam posonan kali ini adalah dibacakannya kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi. Bukannya gimana-gimana ya, tapi Imam Nawawi itukan salah satu ulama yang sepanjang hayatnya menjomblo. Bahkan nih saya kasih tahu yaaa, sang imam sendiri ketika ditanya mengapa beliau tidak menikah beliau malah menjawab "Ma huwa nikah? Nikah iku makhluk opo to rek? Syaghaltu birobbi. Aku wes sibuk karo Pangeranku jeeeee". Lho, piye jhal?????? Esuk ngaji perkoro nikah maleh semangat anggone golek jodo, eeeeeee bengine malah ngaji kitab seng pengarange wae njomblo selawaseeeee. Ter-la-lu.

Etapi ini malah bagus nding. Mengingat sebentar lagi lebaran dan pasti ada saja mahluk kampret yang bertanya mengapa belum nikah-nikah juga tinggal jawab saja: "Saya terinspirasi dari Imam Nawawi yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk beribadah pada Allah".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tarling: Akulturasi Dini Santri

Sebuah Refleksi. Setiap ramadan tiba, pesantren kami (Al-Munawwir, Gringsing) melakukan kegiatan yang mungkin tidak dilakukan pesantren lai...