Sabtu, 12 Mei 2018

Batasan Membasuh Wajah

Salah satu rukun wudhu adalah mengusap kepala Meski ayat yang digunakan sebagai dalil membasuh wajah itu sama yakni wamsahu bi ru'usikum ulama berbeda pendapat tentang batasan mengusap kepala.

Kata ru'usikum di sini artinya adalah kepala. Namun batas kepala yang wajib dibasuh terdapat perdebatan.

Imam Syafii meyakini cukup sebagain dari kepala saja yang dibasuh agar wudhunya sah. Walaupun itu cuma sehelai rambut saja. Tidak perlu seluruh kepala dibasuh agar sah. Membasuh seluruh kepala hukumnya hanya sunah.

Adapun Imam Hanafi berpendapat bahwa batas sah wudhu adalah membasuj semua kepala dari depan sampai belakang. Bila dilakukan di bawah batas itu hukum wudhunya tidak sah.

Logika Imam Syafii ini-yang memberi batasan membasuh "kepala" cukup dengan sebagiannya saja- akan nampak benar apabila diterapkan dalam persoalan batalnya salat karena memakan makanan. Seperti yang kita ketahui, memakan makanan dapat membatalkan salat. Kata "makanan" di sini tidak mungkin dimaknai dengan makanan sepiring nasi komplit dengan lauk pauk dan minumannya, tapi cukup dengan sebutir nasi atau makanan lainnya meskipun sedikit yang masuk ke tenggorokan saja sudah dapat membatalkan salat. Masuk akal. Siapa juga yang ketika salat masih sempat makan sepiring nasi rendang.
Kata "makanan" di sini tidak dimaknai seporsi makanan komplit tapi cukup dengan sebagian makanan saja. Sama seperti Imam Syafii yang memberikan batasan "kepala" tidak seluruh kepala melainkan sebagiannya saja.

Akan tetapi logika Imam Syafii ini akan nampak tidak masuk akal apabila diterapkan dalam kasus kesunahan menyuguhi makanan pada tamu. Tidak mungkin "makanan" yang disuguhkan hanya sebatas sebutir nasi saja kan?. Pastinya makanan yang disuguhkan itu adalah full seporsi makanan. Nasinya ya sepiring lengkap dengan lauk pauknya plus minumannya. Dalam kasus ini justru yang masuk akal adalah logika yang ditetapkan oleh Imam Hanafi. Menyuguhkan makanan ya berarti seporsi makanan itu sendiri. Sama dalam hal wudhu, membasuh kepala ya semua kepala.

***

Apa yang bisa kita dapatkan dari analogi itu adalah bahwa kebenaran bagaimana pun juga tidak pernah bersifat tunggal. Benar dalam satu kasus belum tentu benar biladiterapkan dalam kasus yang lain. Pendapat kedua ulama di atas adalah bukti bahwa kebenaran itu beraifat heterogen.

Akhir-akhir ini umat ada sebagian umat islam, saya sebut sebagian karena sebenarnya jumlah mereka tidak terlalu banyak namun mereka sering kali mengklaim mewakili semua umat Islam yang ada di Indonesia, yang getol menyuarakan agar umat Islam bersatu dalam satu kelompok. Ini jelas tidak mungkin karena kenyataan sejarahnya umat Islam tidak pernah satu. Satu persoalan saja ada begitu banyak opsi dari ulama. Apalagi soal-soal lain yang begitu luas seperti masalah politik dan lain-lain. Tidak bisa kita memaksakan kehendak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tarling: Akulturasi Dini Santri

Sebuah Refleksi. Setiap ramadan tiba, pesantren kami (Al-Munawwir, Gringsing) melakukan kegiatan yang mungkin tidak dilakukan pesantren lai...