“Ngeng....Ngeng... Ngeng....Tiit Tiiit Tiiiiittttt... Awas! Mobil
pemadam kebakaran mau lewat. Jangan ada yang menghalangi atau akan ada korban
kebakaran!.” Suara Akhdan memecah keheningan malam di rumahnya. Perumahan BSP
tampak sepi di malam hari.
“Mainnya udahan dulu sayang. Sekarang waktunya kamu ngaji. Ibu sudah
mendatangkan guru ngaji buat kamu.”
“Akhdan enggak mau. Akdan mau main aja. Akhdan malas kalau mengaji.”
“Kamu jangan begitu dong sayang. Kasihan kan pak guru sudah
jauh-jauh datang dari rumah.”
Si anak tidak menghiraukan seruan ibunya agar berhenti bermain.
Pikirannya melayang jauh beserta imajinasinya tentang sebuah mobil pemadam
kebakaran yang melesat di jalan raya hendak menyelamatkan korban dari kobaran
api. Ia tidak peduli meski hari sudah malam dan ia harus mengaji. Teman-teman
seusianya sudah banyak yang bisa mengeja huruf arab. Bahkan ada pula yang sudah
pandai baca tulis al-Qur’an.
“Maafin anak saya, Pak Guru. Ini juga kesalahan saya karena dulu
terlalu memanjakannya. Sekarang ia jadi sulit diatur.” Ibu Akhdan melaporkan
situasi anaknya kepada calon guru ngajinya.
“Coba saya saja yang membujuknya, Bu. Siapa tahu dia mau.”
“Silahkan Pak Guru. Mohon dimaklumi bila anak saya sedikit nakal.”
“Adik sudah dulu mainnya. Adik kan sudah gede, jadi sudah waktunya
untuk belajar. Teman-teman adik yang bapak ajar sudah banyak yang bisa ngaji.
Masak adik kalah.”
Akhdan tidak bergeming. Rayuan dari calon gurunya agar ia mengaji
tidak dihiraukan.
“Adik....”
PLETAK. Suara mobil-mobilan terjatuh. Akhdan melemparkan
mobil-mobilannya dan mengenai kepala calon guru ngajinya hingga menyebabkan
memar di bagian pipi.
“Berisik!. Akhdan nggak mau ngaji.”
“Anak ibu benar-benar keterlaluan!. Masak saya dilempar mobil-mobilan
hingga pipi kanan saya memar. Saya tidak terima dan akan menuntut kalian.”
“Aduh, maafin anak saya Pak Guru. Saya tidak menyangka kalau ia
berbuat sejauh itu. Saya tetap akan membayar biaya les ngaji anak saya beserta
biaya berobat pak guru. Tolong jangan laporkan kami ke polisi. Saya bisa malu
sama tetangga.”
“Baiklah. Saya tidak akan menuntut. Tapi saya tidak akan mau lagi
kembali kesini.”
Si ibu tak kuasa menahan tangis atas
kelakuan anaknya kali ini. Sudah lima kali ia mendatangkan guru privat agar
mengajari anaknya mengaji. Sikap Akhdan kali ini adalah yang paling parah. Ia tiba-tiba teringat betapa ia dulu sangat memanjakannya.
Butuh waktu lama Akhdan hadir di tengah keluarga kecilnya. Ia sempat mengalami
keguguguran dan divonis dokter akan sulit mendapatkan keturunan. Akhdan
merupakan sebuah keajaiban. Keajaiban itulah yang kini ia harapkan agar Akhdan
mau belajar mengaji. Sebagai orang tua ia tidak mau anaknya buta agama. Sebuah
kerugian besar baginya jika seorang anak bahkan tidak tahu cara mendoakannya
ketika ia meninggal nanti. Cukup ia dan suaminya saja yang tidak paham tentang
agama dan hanya tahu caranya mengahsilkan uang.
“Saya sudah hampir putusa asa, Pa. Apakah
ini akibatnya karena dulu saya terlalu memanjakannya. Sudah lima guru didatangkan
ke sini dan hasilnya nihil.”
“Sabar, Ma. Papa juga kepikiran masalah
itu. Kita cari guru lain. Katanya di masjid kampung kita ada
seorang ustaz yang menjadi takmir di sana. Dia lulusan pesantren. Siapa tahu
hasilnya nanti akan beda.”
“Semoga saja, Pa”.
Keesokan harinya kedua pasangan suami istri
tersebut berangkat ke masjid. Setelah melaksanakan salat subuh berjamaah,
mereka menemui ustaz yang dimaksud. Mereka mengungkapkan keinginannya agar
ustaz itu mau mengajari anaknya mengaji berikut kenakalannya.
“Baiklah akan saya coba. Tetapi saya minta
waktu selama satu minggu sebelum mengajar anak anda. Sebelumnya, apakah bapak
dan ibu sudah bias mengaji?”.
“Hehe... Belum, Pak
Ustaz.” Jawab sepasang suami istri kompak.
“Kalau begitu selama satu minggu itu akan
saya gunakan untuk mengajar anda berdua terlebih dahulu . Barulah nanti saya
akan mengajar anak anda. Ngomong-ngomong, apa kesukaan anak anda?.”
“Permen gulali, Pak Ustaz.”
Selepas isya, Akhdan kembali ke rumah
setelah puas bermain seharian. Ia sedikit kaget melihat sandal yang tidak biasanya ada di
rumahnya. Paling-paling itu sandal milik ustaz yang lagi-lagi didatangkan kedua
orang tuanya. Lihat saja, ustaz itu tidak akan bertahan lama, pikirnya. Tetapi
keadaan kali ini berbeda. Sayup-sayup ia mendengar suara ngaji. Ternyata suara
itu berasal dari kedua oarng tuanya.
“Qa… Ra.. ‘A…Ka…Ta…Ba…”. Ibunya terbata-bata membaca jilid Qira’ati
yang dibawa ustaz. Ayahnya juga membacanya terbata-bata. Ternyata ayah dan
ibunya juga belum bisa mengaji.
“Oh, ini pasti yang namanya Akhdan, ya?
Kamu baru pulang? Ini om kasih permen gulali.” Kata ustaz kepada Akhdan. Tanpa
memedulikan reaksi Akhdan, ustaz tersebut melanjutkan pelajarannya terhadap
kedua orang tua Akhdan. Hal ini membuat Akhdan heran. Bukankah selama ini ayah
dan ibunya mencari guru ngaji untuk mengajari dirinya?. Tetapi kali ini agak
berbeda. Ia juga dibawakan permen gulali kesukaannya. Hal ini
berlangsung selama seminggu penuh. Hingga suatu hari…
“Ayah, Ibu, Akdhan mau ngaji. Akhdan tidak mau seperti ayah dan ibu yang belum bisa mengaji
hingga tua. Akhdan ingin bisa bisa mengaji seperti Pak Ustaz yang suaranya juga
bagus itu. Akhdan juga ingin bisa pandai ceramah. Kemarin Akhdan mendengar
ceramahnya Pak Ustaz, katanya sebagai anak harus berbakti dengan cara mendoakan
kedua orang tua. Katanya doa itu berasal dari Nabi makanya berbahasa arab.
Akhdan ingin bisa mengaji supaya bisa mendoakan ayah dan ibu.”
Sontak pernyataan Akhdan membuat kedua orang tuanya terkaget-kaget. Keajaiban yang selama ini
mereka harapkan akhirnya tiba juga. Air
mata mereka berdua tak terasa meleleh. Akhdan mau mengaji dan keinginannya datang dari dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar