Senin, 25 Februari 2019

Seribu Bait di Al-Itqon


Aku lahir di Kabupaten Batang. Setamat SMP aku merantau ke Kendal, kabupaten tetangga, untuk belajar di Pesantren. Kata bapakku merantau sangatlah penting.
“Orang yang berilmu dan beradab tidak akan berleha-leha saja di kampung halaman. Merantaulah! kau akan mendapat ganti dari kerabat dan kawan-kawan. Singa tidak akan dapat mangsa jika ia hanya diam saja dikandang bukan?[1]”. Kata bapakku.
“Belajar hukumnya wajib, Le[2]. Nabi menyuruh umatnya belajar sampai ke Tiongkok. Kendal itu bukan Tiongkok. Jadi, kamu harus kerasan di sana. Kami doakan kamu berhasil dalam menuntut ilmu. Nabi dulunya juga pernah merantau. Hijrah lebih tepatnya. Beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. Padahal, Mekkah itu kurang apa. Rumah Allah ada di sana. Tapi, beliau ingin mengajarkan kepada umatnya agar mau hijrah untuk mencapai tujuan yang lebih baik.” Ibuku menimpali.
Bapak memang perantau sejati. Beliau bukan orang asli sini. Bapak sewaktu muda berpindah-pindah dari satu pondok ke pondok lain untuk menuntut ilmu sebelum akhirnya menetap di kampung ini untuk menyebarkan agama kemudian menikahi ibu.
Aku dipasrahkan ke Kiai Ahmad. Pesantrennya bernama Al-Itqon yang berada di Desa Kebonharjo Kecamatan Patebon. Bapak dikenal tidak sembarangan mencari Kiai. Kiai yang dipilih bapak haruslah yang memiliki intelektual keilmuan yang tinggi dan ilmu tasawwuf mendalam. Pilihan bapak jatuh ke Kiai Ahmad setelah bapak merasa cocok bahwa Kiai Ahmad adalah orang yang tepat untuk mendidik anaknya. Setelah menyerahkanku ke pesantren dan mengurusi administrasi, bapak dan ibu pamit meninggalkanku. Kuciumi tangan bapak lama sekali. Tangan bapak kasar. Beliau adalah petani di kampung. Dari tangan kasar bapak inilah kami sekeluarga bisa hidup meskipun sederhana. Sedangkan ibu sehari-hari membantu bapak di sawah.
Di pesantren aku sempat kaget dengan padatnya jadwal mengaji. Dari bangun tidur hingga tidur lagi semua rutinitas santri tidak pernah lepas dari kitab. Kalau tidak mengkaji kitab, ya mengahafalkan nazam untuk disetorkan kepada ustadz. Pilihan bapak memasukkanku ke pesantren ini tidaklah keliru. Kiai Ahmad memang benar-benar mempunyai ilmu yang sangat luas. Kata-katanya penuh tenaga dan mengandung kearifan. Segala tindak-tanduknya tidak sembarangan, melainkan mencontoh perilaku Nabi. Ilmunya bagaikan air laut di samudera yang maha luas. Mata air yang tiada habis-habisnya untuk digali. Sedangkan kami, para santrinya, bagaikan seseorang yang mengambil manfaat terus menerus dari mata air tadi.
Teman-teman di pesantrenku tak kalah istimewa. Semangat belajar mereka sungguh luar biasa. Mayoritas penghuni pondok ini berasal dari kalangan ekonomi bawah sepertiku. Tapi, faktor ekonomi tidak menghalangi kami untuk belajar. Bukankah pendidikan merupakan hak semua orang? Bukankah ilmu itu bisa didapatkan meskipun tanpa mengeluarkan uang yang banyak? Memang yang namanya jer basuki itu pasti mawa bea. Tapi tidak harus mengeluarkan bea yang sangat besar untuk menjadi basuki.
Ada salah satu temanku bernama Harto. Ia juga dari keluarga tidak mampu. Bila malam ia sering tidak tidur hanya untuk mengulang-ulang pelajaran. Ia bisa mengulang sampai seratus kali. Bila berjalan ia menundukkan pandangan karena merasa tidak pantas menatap langit sampai ia benar-benar bisa mengaji. Ada juga teman yang makan tiga hari sekali. Akibatnya, ia hanya buang air besar tiap setengah bulan sekali. Ada juga yang sampai mencampur beras dengan pasir di dalam satu kantong kresek. Di bawah kantong kresek itu ia lubangi. Bila tiba saatnya masak, ia akan menggoyang-goyangkan kresek tersebut. Jika yang keluar adalah beras, berarti jatahnya ia makan. Bila yang keluar pasir, itu pertanda ia harus puasa.
Aku salut pada mereka semua. Meskipun tertimpa masalah ekonomi hingga mau makan saja sulit, tapi gairah mengaji mereka sungguh luar bisa. Mereka semua mempunyai impian agar bisa membaca kitab kuning. Disebut kitab kuning karena warnanya memang kuning. Kitab tersebut mempunyai keunikan yaitu ditulis dengan menggunakan bahasa arab tanpa harakat. Untuk bisa membacanya, harus terlebih dahulu menguasai gramatika bahasa arab yaitu Nahwu dan Shorof. Pelajaran Nahwu dan Shorof ini biasanya disajikan dalam bentuk puisi arab atau biasa dikenal nazam. Nazam Nahwu yang paling populer dan prestisius di kalangan santri adalah nazam Alfiyah karya Syekh Ibnu Malik. Nazam ini berjumlah seribu dua bait. Menurut Kiai Ahmad,  siapapun yang bisa menghafalkan nazam ini, selain akan dimudahkan membaca kitab kuning, juga akan mendapatkan tiga keberkahan. Diberi ilmu yang manfaat, harta yang cukup dan istri yang sholehah. Nazam ini juga serupa pintu gerbang yang akan membawa pengahafalnya memahami ilmu agama yang lebih luas. Tapi itu tidak mudah. Ada saja rintangan yang datang ketika santri sudah mulai mengahfal Alfiyah. Aku bercita-cita untuk bisa menghafalkannya.
Aku sendiri sedikit lebih beruntung dibandingkan teman-temanku itu. Kiriman dari orang tua, meskipun tidak banyak, cukup untuk biaya keperluanku sehari-hari. Meskipun begitu, aku iri dengan kesederhanaan mereka dan suatu saat ingin mencontohnya. Makanya kirimanku yang tidak seberapa itu sebisa mungkin aku sisihkan. Siapa tahu ada kebutuhan yang mendesak.
Tak terasa sudah dua tahun aku di sini. Itu berarti tahun depan aku akan mulai menghafalkan Alfiyah. Alfiyah hanya diajarkan jika sudah menginjak kelas tiga Tsanawiyah kemudian disambung dua tahun di Aliyah. Jadi, hanya ada waktu tiga tahun untuk menghafal. Namun sepucuk surat dari rumah membuatku gusar.
“Ananda Edi anakku. Sawah di kampung sedang sulit. Kemungkinan tahun ini gagal panen. Bapak harap ananda dapat menghemat pengeluaran. Hanya segini uang yang dapat bapak kirim. Jangan risaukan nanti kamu makan apa. Percaya saja kepada Allah SWT. Dia Maha Menanggung rizki hamba-Nya.Teruskan belajarmu. Bapak dan ibumu senantiasa mendoakanmu dari sini.”
Ingin rasanya aku pulang dan membantu bapak di sawah. Tapi, bapak tetap menguatkanku agar aku melanjutkan belajarku. Aku masih punya tabungan lumayan untuk memutupi kebutuhanku.
Tapi, keadaan di rumah saat itu benar-benar sedang sulit. Panen lagi-lagi terancam gagal. Kiriman dari bapak hanya bertahan selama tiga bulan. Untung saja aku sudah terbiasa hidup irit. Pengalaman berteman dengan teman-teman yang serba sederhana sedikit banyak mebantuku beradaptasi dengan keadaan sulit ini. Kebetulan, tidak jauh dari pondokku ada teman bapak satu pondok yang sudah sukses dengan membuka toko kelontong. Bapak memintanya agar aku diijinkan bekerja membantunya dengan upah seadanya. Teman bapak dengan senang hati menerimanya.
Jadilah rutinitasku pagi hari bekerja sebagai pelayan toko, sedangkan malam harinya mengaji. Sangat berat membagi waktu antara bekerja dan belajar. Di satu sisi aku juga harus menghafalkan Alfiyah. Butuh ketekunan ekstra keras agar seribu nazam itu bisa aku kuasai. Cita-citaku sudah bulat. Aku harus menaklukkan Alfiyah!.
Aku menghafal laksana orang gila. Kadang di toko di sela-sela tidak ada pelanggan yang datang. Kadang di jalan sambil berjalan menuju toko. Pada waktu jam kosong aku tidak bisa lagi berguarau karena harus mengejar target. Malam harinya kadang aku pergi ke kuburan yang sepi agar bisa fokus menghafal. Tidak ada waktu tanpa mengahafal. Di saku bajuku selalu ada nazam agar sewktu-waktu aku bisa membukanya. Tentu saja, pelajaran yang lain tidak aku tinggalkan. Aku ingin menguasai semua ilmu yang diajarkan di pesantren ini. Tiga tahun akhirnya terlalui. Alhamdulillah, dengan usaha keras diiringi doa, aku akhirnya bisa mengkhatamkan seribu dua bait.
**********
“Acara selanjutnya adalah sambutan dari kepala sekolah SD IT Mutiara Rahmah Balikpapan yang akan disampaikan langung oleh Bapak Kepala Sekolah Bapak Edi Purwanto, M.Pd. Kepada Beliau waktu dan tempat kami persilakan.
Perjalanan hijrahku membawaku menjadi kepala sekolah di Balikpapan. Selepas dari pesantren Al-Itqon, aku mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain untuk menyempurnakan ilmu agamaku hingga akhirnya aku lulus perguruan tinggi.  Alhamdulillah, dengan menjadi kepala sekolah aku bisa hidup berkecukupan. Aku menikah dengan seorang gadis cantik rupawan sekaligus sholehah di Balikpapan. Berbekal nazam Alfiyah, semua ilmu terasa mudah untuk dipelajari. Segala sesuatu terasa mungkin terjadi.


[1] Diambil dari syair Imam Syafi’i RA.
[2] Sapaan untuk anak laki-laki di Jawa.

Kamis, 21 Februari 2019

Guru Ngaji untuk Akhdan


“Ngeng....Ngeng... Ngeng....Tiit Tiiit Tiiiiittttt... Awas! Mobil pemadam kebakaran mau lewat. Jangan ada yang menghalangi atau akan ada korban kebakaran!.” Suara Akhdan memecah keheningan malam di rumahnya. Perumahan BSP tampak sepi di malam hari.
“Mainnya udahan dulu sayang. Sekarang waktunya kamu ngaji. Ibu sudah mendatangkan guru ngaji buat kamu.”
“Akhdan enggak mau. Akdan mau main aja. Akhdan malas kalau mengaji.”
“Kamu jangan begitu dong sayang. Kasihan kan pak guru sudah jauh-jauh datang dari rumah.”
Si anak tidak menghiraukan seruan ibunya agar berhenti bermain. Pikirannya melayang jauh beserta imajinasinya tentang sebuah mobil pemadam kebakaran yang melesat di jalan raya hendak menyelamatkan korban dari kobaran api. Ia tidak peduli meski hari sudah malam dan ia harus mengaji. Teman-teman seusianya sudah banyak yang bisa mengeja huruf arab. Bahkan ada pula yang sudah pandai baca tulis al-Qur’an.
“Maafin anak saya, Pak Guru. Ini juga kesalahan saya karena dulu terlalu memanjakannya. Sekarang ia jadi sulit diatur.” Ibu Akhdan melaporkan situasi anaknya kepada calon guru ngajinya.
“Coba saya saja yang membujuknya, Bu. Siapa tahu dia mau.”
“Silahkan Pak Guru. Mohon dimaklumi bila anak saya sedikit nakal.”
“Adik sudah dulu mainnya. Adik kan sudah gede, jadi sudah waktunya untuk belajar. Teman-teman adik yang bapak ajar sudah banyak yang bisa ngaji. Masak adik kalah.”
Akhdan tidak bergeming. Rayuan dari calon gurunya agar ia mengaji tidak dihiraukan.
“Adik....”
PLETAK. Suara mobil-mobilan terjatuh. Akhdan melemparkan mobil-mobilannya dan mengenai kepala calon guru ngajinya hingga menyebabkan memar di bagian pipi.
“Berisik!. Akhdan nggak mau ngaji.”
“Anak ibu benar-benar keterlaluan!. Masak saya dilempar mobil-mobilan hingga pipi kanan saya memar. Saya tidak terima dan akan menuntut kalian.”
“Aduh, maafin anak saya Pak Guru. Saya tidak menyangka kalau ia berbuat sejauh itu. Saya tetap akan membayar biaya les ngaji anak saya beserta biaya berobat pak guru. Tolong jangan laporkan kami ke polisi. Saya bisa malu sama tetangga.”
“Baiklah. Saya tidak akan menuntut. Tapi saya tidak akan mau lagi kembali kesini.”
Si ibu tak kuasa menahan tangis atas kelakuan anaknya kali ini. Sudah lima kali ia mendatangkan guru privat agar mengajari anaknya mengaji. Sikap Akhdan kali ini adalah yang paling parah. Ia tiba-tiba teringat betapa ia dulu sangat memanjakannya. Butuh waktu lama Akhdan hadir di tengah keluarga kecilnya. Ia sempat mengalami keguguguran dan divonis dokter akan sulit mendapatkan keturunan. Akhdan merupakan sebuah keajaiban. Keajaiban itulah yang kini ia harapkan agar Akhdan mau belajar mengaji. Sebagai orang tua ia tidak mau anaknya buta agama. Sebuah kerugian besar baginya jika seorang anak bahkan tidak tahu cara mendoakannya ketika ia meninggal nanti. Cukup ia dan suaminya saja yang tidak paham tentang agama dan hanya tahu caranya mengahsilkan uang.
“Saya sudah hampir putusa asa, Pa. Apakah ini akibatnya karena dulu saya terlalu memanjakannya. Sudah lima guru didatangkan ke sini dan hasilnya nihil.”
“Sabar, Ma. Papa juga kepikiran masalah itu. Kita cari guru lain. Katanya di masjid kampung kita ada seorang ustaz yang menjadi takmir di sana. Dia lulusan pesantren. Siapa tahu hasilnya nanti akan beda.”
“Semoga saja, Pa”.
Keesokan harinya kedua pasangan suami istri tersebut berangkat ke masjid. Setelah melaksanakan salat subuh berjamaah, mereka menemui ustaz yang dimaksud. Mereka mengungkapkan keinginannya agar ustaz itu mau mengajari anaknya mengaji berikut kenakalannya.
“Baiklah akan saya coba. Tetapi saya minta waktu selama satu minggu sebelum mengajar anak anda. Sebelumnya, apakah bapak dan ibu sudah bias mengaji?”.
“Hehe... Belum, Pak Ustaz.” Jawab sepasang suami istri kompak.
“Kalau begitu selama satu minggu itu akan saya gunakan untuk mengajar anda berdua terlebih dahulu . Barulah nanti saya akan mengajar anak anda. Ngomong-ngomong, apa kesukaan anak anda?.”
“Permen gulali, Pak Ustaz.”
Selepas isya, Akhdan kembali ke rumah setelah puas bermain seharian. Ia sedikit kaget  melihat sandal yang tidak biasanya ada di rumahnya. Paling-paling itu sandal milik ustaz yang lagi-lagi didatangkan kedua orang tuanya. Lihat saja, ustaz itu tidak akan bertahan lama, pikirnya. Tetapi keadaan kali ini berbeda. Sayup-sayup ia mendengar suara ngaji. Ternyata suara itu berasal dari kedua oarng tuanya.
“Qa… Ra.. ‘A…Ka…Ta…Ba…”. Ibunya terbata-bata membaca jilid Qira’ati yang dibawa ustaz. Ayahnya juga membacanya terbata-bata. Ternyata ayah dan ibunya juga belum bisa mengaji.
“Oh, ini pasti yang namanya Akhdan, ya? Kamu baru pulang? Ini om kasih permen gulali.” Kata ustaz kepada Akhdan. Tanpa memedulikan reaksi Akhdan, ustaz tersebut melanjutkan pelajarannya terhadap kedua orang tua Akhdan. Hal ini membuat Akhdan heran. Bukankah selama ini ayah dan ibunya mencari guru ngaji untuk mengajari dirinya?. Tetapi kali ini agak berbeda. Ia juga dibawakan permen gulali kesukaannya. Hal ini berlangsung selama seminggu penuh. Hingga suatu hari…
“Ayah, Ibu, Akdhan mau ngaji. Akhdan tidak mau seperti ayah dan ibu yang belum bisa mengaji hingga tua. Akhdan ingin bisa bisa mengaji seperti Pak Ustaz yang suaranya juga bagus itu. Akhdan juga ingin bisa pandai ceramah. Kemarin Akhdan mendengar ceramahnya Pak Ustaz, katanya sebagai anak harus berbakti dengan cara mendoakan kedua orang tua. Katanya doa itu berasal dari Nabi makanya berbahasa arab. Akhdan ingin bisa mengaji supaya bisa mendoakan ayah dan ibu.”
Sontak pernyataan Akhdan membuat kedua orang tuanya terkaget-kaget. Keajaiban yang selama ini mereka harapkan akhirnya tiba juga. Air mata mereka berdua tak terasa meleleh. Akhdan mau mengaji dan keinginannya datang dari dirinya sendiri.


Tarling: Akulturasi Dini Santri

Sebuah Refleksi. Setiap ramadan tiba, pesantren kami (Al-Munawwir, Gringsing) melakukan kegiatan yang mungkin tidak dilakukan pesantren lai...