Sabtu, 01 Juni 2019

Tarling: Akulturasi Dini Santri

Sebuah Refleksi.

Setiap ramadan tiba, pesantren kami (Al-Munawwir, Gringsing) melakukan kegiatan yang mungkin tidak dilakukan pesantren lain yakni Tarling (tarawih keliling). Kegiatan ini sendiri berupa sebagian santri diterjunkan secara langsung ke daerah (umumnya pedesaan), mulai siang hari sampai malam.

Bentuk kegiatannya sendiri berupa tadarrusan di setiap musolla dan masjid yang kami kunjungi pada bada asar sampai waktu berbuka. Dilanjutkan takjil kemudian jamaah maghrib. Setelah maghrib buka bersama di tempat tuan rumah yang mengundang. Dilanjutkan jamaah isyak dan terawih. Setelah terawih itulah merupakan puncak acara yang diisi dengan semacam pengajian umum yang semuanya dihendel oleh santri, mulai dari MC sampai maidhoh hasanah.

Tujuan awal kegiatan ini sebenarnya merupakan rangkaian promosi dari pondok kami kepada masyarakat agar masyarakat tertarik memondokkan anaknya di pondok pesantren kami. Cara ini kami anggap lebih efektif ketimbang harus promosi ke sekolah-sekolah lain untuk menarik santri. Dan, cara itu ternyata terbukti, banyak orang tua santri tertarik memondokkan anaknya ke pondok kami lantaran setelah mengikuti acara tarling di kampungnya.

Selain sebagai sarana promosi, acara Tarling itu sendiri sebenarnya juga merupakan salah satu wahana bagi santri untuk unjuk gigi di depan masyarakat sesungguhnya. Selama satu tahun di pondok, santri sudah dibekali bagaimana caranya menjadi MC, bagaimana caranya memimpin tahlil, dan bagaimana caranya berpidato. Santri sudah digembleng di pondok sebagai kawah candra dimuka, agar kelak ketika santri kembali ke masyarakat sudah siap mengabdi di masyarakat. Nah, pada saat tarling itulah kemudian menjadi semacam KKN kilat bagi para santri. Lihatlah, para santri-santri kami berani berpidato layaknya dai yang jadi juara AKSI.

Selain sebagai sarana berlatih santri, kegiatan tarling ini dalam tahap selanjutnya menjadi semacam proses akulturasi santri itu sendiri dengan budaya masyarakat yang dikunjungi. Meskipum daerah yang kami kunjungi masih sekadar di lingkungan Nahdliyin, tapi budaya antar masyarakat itu sendiri sudah berbeda-beda, terutama dalam soal pelaksanaan ibadah tarawih. Meski sama-sama NU, tapi soal teknis tarawih sendiri antar daerah tak jarang banyak yang berbeda.

Ambil contoh di daerah Lanji. Ternyata masyarakat yang tarawih di masjid jumlahnya sedikit sekali. Usut punya usut, setiap gang di sana memiliki musolla sendiri, sehingga masyarakat lebih banyak memilih tarawih di musolla daripada di masjid. Di Lanji juga kami baru mengetahui kalau ada semacam hajatan, warga di sana harus diberi undangan resmi sebagai bentuk undangan kehadiran. Jadi tidak cukup hanya melalui undangan dengan speaker di masjid dan musolla karena masyarakat di sana bila tidak diberi undangan khusus akan menganggap acara tersebut merupakan acara pribadi atau untuk umum tapi hanya untuk kalangan tertentu saja.

Di Tanjung Sari, Rowosari beda lagi. Meski tergolong masjid NU, namun jumlah rakaat shalat tarawih di sana adalah 8 rakaat plus witir 3 rakaat, seperti yang biasa dijalankan oleh warga Muhammadiyah. Namun pelaksanaan 8 rakaat tersebut ternyata lebih lama ketimbang 23 rakaat yang biasa dilakukan para santri di pondok. Ternyata, dalam sejarahnya masjid itu dulu pernah "dimiliki" oleh warga Muhammadiyah, kemudian "diambil" alih lagi oleh orang NU. Akan tetapi masyarakat di sana telah terbiasa tarawih 8 rakaat, sehingga sampai sekarangpun tarawih di sana tetap 8 rakaat.

Proses akulturasi itu menjadi penting bagi para santri agar sejak dini mereka sudah mengenal berbagai macam budaya masyarakat yang beragam. Hal ini sebagai bekal sekaligus pendidikan awal bagi para santri agar kelak ketika terjun di masyarakat tidak mudah menyalahkan praktik ibadah di masyarakat kelak ketika mereka bernaung. Jangan sampai di kemudian hari ada santri yang menyalah-nyalahkan budaya masyarakat hanya karena berbeda dengan yang selama ini dia ketahui di pondok.

Ini juga tidak hanya berlaku pada aspek shalat tarawih saja, melainkan kepada semua budaya yang ada dan berlaku di masyarakat. Santri harus memiliki timbangan sendiri apakah budaya tersebut berlawanan dengan syariat atau tidak. Bila tidak berlawanan, maka seyogyanya budaya yang ada dapat dilestarikan dengan baik. Bila itu berlawanan dengan syariat, santri seharusnya juga tidak perlu mengecam dan menganggap budaya itu sesat ala orang-orang garis keras yang semakin hari semakin kencang saja mengkafir kafirkan orang yang tidak sepahaman dengan golongannya. Yang harus dipakai oleh santri seharusnya adalah ilmunya para wali songo yang berhasil mengislamkan tanah nusantara tanpa kekerasan dan tanpa perlu menumpahkan darah setetespun.

Adapun soal tarawih itu sendiri, patut ditekankan bahwa hukumnya adalah sunnah. Sehingga ketika ada perbedaan jumlah rakaat, hal itu tidk perlu terlalu diperdebatkan karena masih termasuk lingkup furu', bukan ushul. Dalam sejarahnya sendiri, praktik shalat tarawih yang ada sekarang ini berbeda dengan yang ada di jaman Nabi Saw dulu.

Selain soal akulturasi tadi, kegiatan Tarling ini sendiri sebenarnya juga merupakan sebuah usaha menciptakan panggung bagi para santri. Dewasa ini, panggung dakwah tanah air diisi oleh orang-orang galak, yang kerjaannya marah-marah kepada golongan lain yang tidak sepahaman dengan golongannya. Mereka ini rajin mengutip dalil yang sepotong-potong kemudian ditafsirkan sesuka hati mereka, padahal ilmu tasrif saja mereka tidak bisa. Konten dakwah yang mereka bawa jauh dari islam yang sudah ratusan tahun berkemban di nusantara melalui islam yang moderat dan damai. Tapi sekarang justru mereka ini yang membajiri konten dakwah tanah air, khususnya di ranah media sosial.

Dengan adanya kegiatan Tarling ini diharapkan para santri sudah berani tampil di masyarakat untuk ikut membendung dakwah-dakwah yang bernuansa kekerasan dan jauh dari paham takfiri.

Wallahu a'lam bisshawab.

Senin, 04 Maret 2019

Tolak Dulu, Tembak Kemudian


Cinta adalah hak setiap orang. Setiap orang berhak mengatakan cinta kepada orang yang dicintai. Tapi, soal mengatakan itu bukan hal yang mudah. Salah satu kendalanya adalah ada aturan bahwa cowok harus menembak duluan. Bagi cowok yang PD dan mempunyai “modal” seperti ganteng atau kaya hal itu bukan masalah. Kalau naksir dengan cewek tinggal bilang saja. Berbeda untuk cowok tipe pemalu dan pendiam. Apalagi ia juga tidak punya cukup modal dan keberanian. Mengatakan cinta butuh keberanian ekstra dan waktu yang cukup lama. Bahkan, terkadang lebih baik memendam perasaan itu sendirian dan hanya sekadar menjadi pengagum rahasia. Saya sendiri termasuk dalam kategori ini.
Suatu ketika saya pernah naksir cewek, namun tidak berani mengungkapkannya. Di luar dugaan ternyata si cewek juga punya perasaan yang sama. Mungkin karena lelah menunggu, akhirnya ia memberanikan diri untuk mengatakannya terlebih dahulu. Kontan saja saya terkejut campur bahagia. Tapi, karena masih terpengaruh anggapan cowok harus nembak duluan, saya pun menolaknya. Saya sendiri merasa malu jika mempunyai hubungan dengan cewek lebih dulu menyatakan perasaannya. Setelah saya tolak, barulah kemudian saya yang ganti menembaknya. Bagi kalian yang sedang jatuh cinta, jangan ragu untuk mengatakannya. Siapa tahu orang yang kalian taksir juga mempunyai perasaan yang sama.

Senin, 25 Februari 2019

Seribu Bait di Al-Itqon


Aku lahir di Kabupaten Batang. Setamat SMP aku merantau ke Kendal, kabupaten tetangga, untuk belajar di Pesantren. Kata bapakku merantau sangatlah penting.
“Orang yang berilmu dan beradab tidak akan berleha-leha saja di kampung halaman. Merantaulah! kau akan mendapat ganti dari kerabat dan kawan-kawan. Singa tidak akan dapat mangsa jika ia hanya diam saja dikandang bukan?[1]”. Kata bapakku.
“Belajar hukumnya wajib, Le[2]. Nabi menyuruh umatnya belajar sampai ke Tiongkok. Kendal itu bukan Tiongkok. Jadi, kamu harus kerasan di sana. Kami doakan kamu berhasil dalam menuntut ilmu. Nabi dulunya juga pernah merantau. Hijrah lebih tepatnya. Beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. Padahal, Mekkah itu kurang apa. Rumah Allah ada di sana. Tapi, beliau ingin mengajarkan kepada umatnya agar mau hijrah untuk mencapai tujuan yang lebih baik.” Ibuku menimpali.
Bapak memang perantau sejati. Beliau bukan orang asli sini. Bapak sewaktu muda berpindah-pindah dari satu pondok ke pondok lain untuk menuntut ilmu sebelum akhirnya menetap di kampung ini untuk menyebarkan agama kemudian menikahi ibu.
Aku dipasrahkan ke Kiai Ahmad. Pesantrennya bernama Al-Itqon yang berada di Desa Kebonharjo Kecamatan Patebon. Bapak dikenal tidak sembarangan mencari Kiai. Kiai yang dipilih bapak haruslah yang memiliki intelektual keilmuan yang tinggi dan ilmu tasawwuf mendalam. Pilihan bapak jatuh ke Kiai Ahmad setelah bapak merasa cocok bahwa Kiai Ahmad adalah orang yang tepat untuk mendidik anaknya. Setelah menyerahkanku ke pesantren dan mengurusi administrasi, bapak dan ibu pamit meninggalkanku. Kuciumi tangan bapak lama sekali. Tangan bapak kasar. Beliau adalah petani di kampung. Dari tangan kasar bapak inilah kami sekeluarga bisa hidup meskipun sederhana. Sedangkan ibu sehari-hari membantu bapak di sawah.
Di pesantren aku sempat kaget dengan padatnya jadwal mengaji. Dari bangun tidur hingga tidur lagi semua rutinitas santri tidak pernah lepas dari kitab. Kalau tidak mengkaji kitab, ya mengahafalkan nazam untuk disetorkan kepada ustadz. Pilihan bapak memasukkanku ke pesantren ini tidaklah keliru. Kiai Ahmad memang benar-benar mempunyai ilmu yang sangat luas. Kata-katanya penuh tenaga dan mengandung kearifan. Segala tindak-tanduknya tidak sembarangan, melainkan mencontoh perilaku Nabi. Ilmunya bagaikan air laut di samudera yang maha luas. Mata air yang tiada habis-habisnya untuk digali. Sedangkan kami, para santrinya, bagaikan seseorang yang mengambil manfaat terus menerus dari mata air tadi.
Teman-teman di pesantrenku tak kalah istimewa. Semangat belajar mereka sungguh luar biasa. Mayoritas penghuni pondok ini berasal dari kalangan ekonomi bawah sepertiku. Tapi, faktor ekonomi tidak menghalangi kami untuk belajar. Bukankah pendidikan merupakan hak semua orang? Bukankah ilmu itu bisa didapatkan meskipun tanpa mengeluarkan uang yang banyak? Memang yang namanya jer basuki itu pasti mawa bea. Tapi tidak harus mengeluarkan bea yang sangat besar untuk menjadi basuki.
Ada salah satu temanku bernama Harto. Ia juga dari keluarga tidak mampu. Bila malam ia sering tidak tidur hanya untuk mengulang-ulang pelajaran. Ia bisa mengulang sampai seratus kali. Bila berjalan ia menundukkan pandangan karena merasa tidak pantas menatap langit sampai ia benar-benar bisa mengaji. Ada juga teman yang makan tiga hari sekali. Akibatnya, ia hanya buang air besar tiap setengah bulan sekali. Ada juga yang sampai mencampur beras dengan pasir di dalam satu kantong kresek. Di bawah kantong kresek itu ia lubangi. Bila tiba saatnya masak, ia akan menggoyang-goyangkan kresek tersebut. Jika yang keluar adalah beras, berarti jatahnya ia makan. Bila yang keluar pasir, itu pertanda ia harus puasa.
Aku salut pada mereka semua. Meskipun tertimpa masalah ekonomi hingga mau makan saja sulit, tapi gairah mengaji mereka sungguh luar bisa. Mereka semua mempunyai impian agar bisa membaca kitab kuning. Disebut kitab kuning karena warnanya memang kuning. Kitab tersebut mempunyai keunikan yaitu ditulis dengan menggunakan bahasa arab tanpa harakat. Untuk bisa membacanya, harus terlebih dahulu menguasai gramatika bahasa arab yaitu Nahwu dan Shorof. Pelajaran Nahwu dan Shorof ini biasanya disajikan dalam bentuk puisi arab atau biasa dikenal nazam. Nazam Nahwu yang paling populer dan prestisius di kalangan santri adalah nazam Alfiyah karya Syekh Ibnu Malik. Nazam ini berjumlah seribu dua bait. Menurut Kiai Ahmad,  siapapun yang bisa menghafalkan nazam ini, selain akan dimudahkan membaca kitab kuning, juga akan mendapatkan tiga keberkahan. Diberi ilmu yang manfaat, harta yang cukup dan istri yang sholehah. Nazam ini juga serupa pintu gerbang yang akan membawa pengahafalnya memahami ilmu agama yang lebih luas. Tapi itu tidak mudah. Ada saja rintangan yang datang ketika santri sudah mulai mengahfal Alfiyah. Aku bercita-cita untuk bisa menghafalkannya.
Aku sendiri sedikit lebih beruntung dibandingkan teman-temanku itu. Kiriman dari orang tua, meskipun tidak banyak, cukup untuk biaya keperluanku sehari-hari. Meskipun begitu, aku iri dengan kesederhanaan mereka dan suatu saat ingin mencontohnya. Makanya kirimanku yang tidak seberapa itu sebisa mungkin aku sisihkan. Siapa tahu ada kebutuhan yang mendesak.
Tak terasa sudah dua tahun aku di sini. Itu berarti tahun depan aku akan mulai menghafalkan Alfiyah. Alfiyah hanya diajarkan jika sudah menginjak kelas tiga Tsanawiyah kemudian disambung dua tahun di Aliyah. Jadi, hanya ada waktu tiga tahun untuk menghafal. Namun sepucuk surat dari rumah membuatku gusar.
“Ananda Edi anakku. Sawah di kampung sedang sulit. Kemungkinan tahun ini gagal panen. Bapak harap ananda dapat menghemat pengeluaran. Hanya segini uang yang dapat bapak kirim. Jangan risaukan nanti kamu makan apa. Percaya saja kepada Allah SWT. Dia Maha Menanggung rizki hamba-Nya.Teruskan belajarmu. Bapak dan ibumu senantiasa mendoakanmu dari sini.”
Ingin rasanya aku pulang dan membantu bapak di sawah. Tapi, bapak tetap menguatkanku agar aku melanjutkan belajarku. Aku masih punya tabungan lumayan untuk memutupi kebutuhanku.
Tapi, keadaan di rumah saat itu benar-benar sedang sulit. Panen lagi-lagi terancam gagal. Kiriman dari bapak hanya bertahan selama tiga bulan. Untung saja aku sudah terbiasa hidup irit. Pengalaman berteman dengan teman-teman yang serba sederhana sedikit banyak mebantuku beradaptasi dengan keadaan sulit ini. Kebetulan, tidak jauh dari pondokku ada teman bapak satu pondok yang sudah sukses dengan membuka toko kelontong. Bapak memintanya agar aku diijinkan bekerja membantunya dengan upah seadanya. Teman bapak dengan senang hati menerimanya.
Jadilah rutinitasku pagi hari bekerja sebagai pelayan toko, sedangkan malam harinya mengaji. Sangat berat membagi waktu antara bekerja dan belajar. Di satu sisi aku juga harus menghafalkan Alfiyah. Butuh ketekunan ekstra keras agar seribu nazam itu bisa aku kuasai. Cita-citaku sudah bulat. Aku harus menaklukkan Alfiyah!.
Aku menghafal laksana orang gila. Kadang di toko di sela-sela tidak ada pelanggan yang datang. Kadang di jalan sambil berjalan menuju toko. Pada waktu jam kosong aku tidak bisa lagi berguarau karena harus mengejar target. Malam harinya kadang aku pergi ke kuburan yang sepi agar bisa fokus menghafal. Tidak ada waktu tanpa mengahafal. Di saku bajuku selalu ada nazam agar sewktu-waktu aku bisa membukanya. Tentu saja, pelajaran yang lain tidak aku tinggalkan. Aku ingin menguasai semua ilmu yang diajarkan di pesantren ini. Tiga tahun akhirnya terlalui. Alhamdulillah, dengan usaha keras diiringi doa, aku akhirnya bisa mengkhatamkan seribu dua bait.
**********
“Acara selanjutnya adalah sambutan dari kepala sekolah SD IT Mutiara Rahmah Balikpapan yang akan disampaikan langung oleh Bapak Kepala Sekolah Bapak Edi Purwanto, M.Pd. Kepada Beliau waktu dan tempat kami persilakan.
Perjalanan hijrahku membawaku menjadi kepala sekolah di Balikpapan. Selepas dari pesantren Al-Itqon, aku mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain untuk menyempurnakan ilmu agamaku hingga akhirnya aku lulus perguruan tinggi.  Alhamdulillah, dengan menjadi kepala sekolah aku bisa hidup berkecukupan. Aku menikah dengan seorang gadis cantik rupawan sekaligus sholehah di Balikpapan. Berbekal nazam Alfiyah, semua ilmu terasa mudah untuk dipelajari. Segala sesuatu terasa mungkin terjadi.


[1] Diambil dari syair Imam Syafi’i RA.
[2] Sapaan untuk anak laki-laki di Jawa.

Kamis, 21 Februari 2019

Guru Ngaji untuk Akhdan


“Ngeng....Ngeng... Ngeng....Tiit Tiiit Tiiiiittttt... Awas! Mobil pemadam kebakaran mau lewat. Jangan ada yang menghalangi atau akan ada korban kebakaran!.” Suara Akhdan memecah keheningan malam di rumahnya. Perumahan BSP tampak sepi di malam hari.
“Mainnya udahan dulu sayang. Sekarang waktunya kamu ngaji. Ibu sudah mendatangkan guru ngaji buat kamu.”
“Akhdan enggak mau. Akdan mau main aja. Akhdan malas kalau mengaji.”
“Kamu jangan begitu dong sayang. Kasihan kan pak guru sudah jauh-jauh datang dari rumah.”
Si anak tidak menghiraukan seruan ibunya agar berhenti bermain. Pikirannya melayang jauh beserta imajinasinya tentang sebuah mobil pemadam kebakaran yang melesat di jalan raya hendak menyelamatkan korban dari kobaran api. Ia tidak peduli meski hari sudah malam dan ia harus mengaji. Teman-teman seusianya sudah banyak yang bisa mengeja huruf arab. Bahkan ada pula yang sudah pandai baca tulis al-Qur’an.
“Maafin anak saya, Pak Guru. Ini juga kesalahan saya karena dulu terlalu memanjakannya. Sekarang ia jadi sulit diatur.” Ibu Akhdan melaporkan situasi anaknya kepada calon guru ngajinya.
“Coba saya saja yang membujuknya, Bu. Siapa tahu dia mau.”
“Silahkan Pak Guru. Mohon dimaklumi bila anak saya sedikit nakal.”
“Adik sudah dulu mainnya. Adik kan sudah gede, jadi sudah waktunya untuk belajar. Teman-teman adik yang bapak ajar sudah banyak yang bisa ngaji. Masak adik kalah.”
Akhdan tidak bergeming. Rayuan dari calon gurunya agar ia mengaji tidak dihiraukan.
“Adik....”
PLETAK. Suara mobil-mobilan terjatuh. Akhdan melemparkan mobil-mobilannya dan mengenai kepala calon guru ngajinya hingga menyebabkan memar di bagian pipi.
“Berisik!. Akhdan nggak mau ngaji.”
“Anak ibu benar-benar keterlaluan!. Masak saya dilempar mobil-mobilan hingga pipi kanan saya memar. Saya tidak terima dan akan menuntut kalian.”
“Aduh, maafin anak saya Pak Guru. Saya tidak menyangka kalau ia berbuat sejauh itu. Saya tetap akan membayar biaya les ngaji anak saya beserta biaya berobat pak guru. Tolong jangan laporkan kami ke polisi. Saya bisa malu sama tetangga.”
“Baiklah. Saya tidak akan menuntut. Tapi saya tidak akan mau lagi kembali kesini.”
Si ibu tak kuasa menahan tangis atas kelakuan anaknya kali ini. Sudah lima kali ia mendatangkan guru privat agar mengajari anaknya mengaji. Sikap Akhdan kali ini adalah yang paling parah. Ia tiba-tiba teringat betapa ia dulu sangat memanjakannya. Butuh waktu lama Akhdan hadir di tengah keluarga kecilnya. Ia sempat mengalami keguguguran dan divonis dokter akan sulit mendapatkan keturunan. Akhdan merupakan sebuah keajaiban. Keajaiban itulah yang kini ia harapkan agar Akhdan mau belajar mengaji. Sebagai orang tua ia tidak mau anaknya buta agama. Sebuah kerugian besar baginya jika seorang anak bahkan tidak tahu cara mendoakannya ketika ia meninggal nanti. Cukup ia dan suaminya saja yang tidak paham tentang agama dan hanya tahu caranya mengahsilkan uang.
“Saya sudah hampir putusa asa, Pa. Apakah ini akibatnya karena dulu saya terlalu memanjakannya. Sudah lima guru didatangkan ke sini dan hasilnya nihil.”
“Sabar, Ma. Papa juga kepikiran masalah itu. Kita cari guru lain. Katanya di masjid kampung kita ada seorang ustaz yang menjadi takmir di sana. Dia lulusan pesantren. Siapa tahu hasilnya nanti akan beda.”
“Semoga saja, Pa”.
Keesokan harinya kedua pasangan suami istri tersebut berangkat ke masjid. Setelah melaksanakan salat subuh berjamaah, mereka menemui ustaz yang dimaksud. Mereka mengungkapkan keinginannya agar ustaz itu mau mengajari anaknya mengaji berikut kenakalannya.
“Baiklah akan saya coba. Tetapi saya minta waktu selama satu minggu sebelum mengajar anak anda. Sebelumnya, apakah bapak dan ibu sudah bias mengaji?”.
“Hehe... Belum, Pak Ustaz.” Jawab sepasang suami istri kompak.
“Kalau begitu selama satu minggu itu akan saya gunakan untuk mengajar anda berdua terlebih dahulu . Barulah nanti saya akan mengajar anak anda. Ngomong-ngomong, apa kesukaan anak anda?.”
“Permen gulali, Pak Ustaz.”
Selepas isya, Akhdan kembali ke rumah setelah puas bermain seharian. Ia sedikit kaget  melihat sandal yang tidak biasanya ada di rumahnya. Paling-paling itu sandal milik ustaz yang lagi-lagi didatangkan kedua orang tuanya. Lihat saja, ustaz itu tidak akan bertahan lama, pikirnya. Tetapi keadaan kali ini berbeda. Sayup-sayup ia mendengar suara ngaji. Ternyata suara itu berasal dari kedua oarng tuanya.
“Qa… Ra.. ‘A…Ka…Ta…Ba…”. Ibunya terbata-bata membaca jilid Qira’ati yang dibawa ustaz. Ayahnya juga membacanya terbata-bata. Ternyata ayah dan ibunya juga belum bisa mengaji.
“Oh, ini pasti yang namanya Akhdan, ya? Kamu baru pulang? Ini om kasih permen gulali.” Kata ustaz kepada Akhdan. Tanpa memedulikan reaksi Akhdan, ustaz tersebut melanjutkan pelajarannya terhadap kedua orang tua Akhdan. Hal ini membuat Akhdan heran. Bukankah selama ini ayah dan ibunya mencari guru ngaji untuk mengajari dirinya?. Tetapi kali ini agak berbeda. Ia juga dibawakan permen gulali kesukaannya. Hal ini berlangsung selama seminggu penuh. Hingga suatu hari…
“Ayah, Ibu, Akdhan mau ngaji. Akhdan tidak mau seperti ayah dan ibu yang belum bisa mengaji hingga tua. Akhdan ingin bisa bisa mengaji seperti Pak Ustaz yang suaranya juga bagus itu. Akhdan juga ingin bisa pandai ceramah. Kemarin Akhdan mendengar ceramahnya Pak Ustaz, katanya sebagai anak harus berbakti dengan cara mendoakan kedua orang tua. Katanya doa itu berasal dari Nabi makanya berbahasa arab. Akhdan ingin bisa mengaji supaya bisa mendoakan ayah dan ibu.”
Sontak pernyataan Akhdan membuat kedua orang tuanya terkaget-kaget. Keajaiban yang selama ini mereka harapkan akhirnya tiba juga. Air mata mereka berdua tak terasa meleleh. Akhdan mau mengaji dan keinginannya datang dari dirinya sendiri.


Sabtu, 19 Mei 2018

Daftar Kiai NU yang Menyiarkan Pengajian Posonan Live Streaming

Dalam tradisi pesantren dikenal istilah "posonan". Posonan sendiri diambil dari bahasa Jawa "poso" yang berarti puasa. Secara istilah, posonan berarti nyantri di pondok pesantren khusus selama bulan Ramadan saja. Dalam Bahasa Indonesia ada istilah pesantren kilat. Nah, posonan kurang lebih seperti itu, meskipun tidak kilat-kilat banget juga sih. Di pesantren kami dulu intensitas ngaji saat posonan malah lebih lama dibanding hari biasa. 
Tentu ada yang berbeda antara ngaji biasa dengan posonan. Dari kitab yang dikaji, lazimnya kitab-kitab yang dikaji saat posonan adalah kitab yang sehari-harinya tidak diajarkan di pondok tersebut. Metode pembelajarannyapun berbeda. Umumnya posonan digunakan untuk mengejar maknanya saja (nggoleki makno), sangat jarang diterangkan. Kitab posonan umumnya selesai dibacakan bahkan sebelum Ramadan berakhir. Bahkan ada pondok pesantren yang mempunyai tradisi selesai membaca Tafsir Jalalain selama posonan. Tidak semua pesantren seperti itu. Tergantung kebijakan dari kiainya. Ada juga kiai yang memilih membaca kitab yang tipis-tipis saja dan menerangkan dengan panjang lebar. 
Perbedaan metode mengajar yang digunakan itulah biasanya yang membuat sebagian santri memilih posonan di pesantren lain, tidak di pesantrennya sendiri. Selain ingin merasakan bagaimana rasanya diajar oleh kiai lain, yang membuat sebagian santri posonan di tempat lain adalah ingin merasakan iklim di pesantren lain. Santri dari pondok kecil yang ingin merasakan bagimana rasanya mondok di pesantren besar tapi terbentur oleh alasan tertentu biasanya menggunakan kesempatan posonan ini, begitu juga sebaliknya. Semacam studi banding atau KKL lah. Hahaha. 
Nah, buat santri yang belum punya kesempatan untuk posonan di pondok besar dengan kiai besar tidak perlu khawatir. Enaknya jadi santri zaman now adalah banyak kiai-kiai besar yang ilmunya mumpuni membuka pengajian posonan dan disiarkan langsung di media sosial. Cukup siapin kuota yang banyak, kopi dan cemilan pengajian dari kiai-kiai besar di Indonesia bisa langsung disimak. Uuueeennnakkk to???? Berikut adalah daftar kiai yang melakukan live streaming selama bulan Ramadan. Sebagai catatan, yang saya share di sini hanya kiai yang membacakan kitab ya. Kalo cuman ceramah saja nanti Sugik Nur mengajukan diri lagi. Iddddiiihh, Ora sudi!!!! 

1. KH. A.Mustofa Bisri (Gus Mus).
Meskipun kiai sepuh, tapi Gus Mus adalah salah satu kiai yang melek media sosial. Rasa-rasanya beliau punya akun di setiap media sosial menstream dengan follower yang tidak sedikit. Mulai dari Facebook (Ahmad Mustofa Bisri), Twitter (@gusmusgusmu ), Instagram ( @s.kakung ), dan Youtube (Gus Mus Chanel). Di posonan kali ini Gus Mus membaca kitab Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus yang bisa didownload di sini 
 Adapun pengajian Gus Mus bisa disimak setiap bakda tarawih di chanel Youtube beliau di link berikut

2. Prof. Quraish Shihab
Kalau ini tidak perlu kuota. Cukup pastikan listrik di rumahmu menyala pas sahur dan sebuah pesawat televisi yang punya chanel Metro TV. Seperti biasanya, beliau membacakan kitab tafsir al-Misbah karya beliau sendiri. Kendalanya adalah kamu harus rebutan chanel dengan orang tuamu, karena biasanya orang tua, terutama ibu, lebih suka program lomba dai yang disiarkan di stasiun televisi lain. Belum lagi kalau ibu sudah mengeluarkan kata-kata saktinya "Kae pinter meni lek ceramah. Kowe iso koyo ngono porak, Lee?"
Ampun maaaaakkkk!!!

3. KH. Said Aqil Siradj
Setahu saya inilah posonan yang paling berat diikuti secara live streaming. Bukan karena kitabnya, tapi waktunya itu lho yang harus bersaing dengan waktu tidur yang paling nikmat di bulan puasa; bakda subuh. Tapi yang kapan lagi bisa ngaji langsung dengan ketua umum Tanfidziyah PBNU?
Kia Said membaca kitab Nashoihul Ibad Pengajian Kang Said bisa disimak di sini

4. Gus Yusuf Khudhori
Beliau ini adalah pengasuh pondok pesantren Tegalrejo, Magelang. Itu lhoh, salah satu pesantren legendaris yang bahkan Presiden RI keempat, Gus Dur, pernah nyantri di sana.
Gus Yusuf membaca kitab Risalatul Burdah selama bulam Ramadan setiap pukul 5.15 WIB. Pengajian Gus Yusuf bisa disimak di sini

5. Gus Ulil Abshar Abdalla
Berbicara ngaji live streaming, rasanya tak lengkap bila tidak membahas Gus Ulil. Sejak Ramadan tahun lalu beliau sudah aktif membacakan kitab Ihya' Ulumuddin-nya Imam Ghazali. Dalam perkembangannya, beliau bahkan sudah beberapa kali mengadakan kopdar Ihya' (ngaji Ihya' secara live tapi berpindah-pindah lokasi) dan masih terus berlanjut sampai sekarang. Selain Ihya, posonan kali ini beliau juga mengkaji kitab Himayat al-Kanais fi al-Islam (khusus Sabtu-Minggu). Materi pengajian Ihya (selama sepuluh hari) bisa didownload di  sedangkan kitab .Himayat al-Kanais fi al-Islam dapat didownload di sini Adapun pengajiannya bisa disimak di Facebooknya beliau mulai pukul 21.00 WIB di link ini.

5. Kiai Ahmad Nadhif Abdul Mudjib. Langsung saja disimak di sini.

6. Kiai Muqorrobin Alazizst. Setiap bakda tarawih di sini.

7. Kiai Zaenal Maarif. Juga setiap bakda tarawih di sini.

8.Kiai Kuswaidi Syafiie. Kiai yang disebut oleh Gus Ulil sebagai "Pensyarah ajaran Ibn Arabi terbaik yang ada di medsos". Langsung saja disimak di sini.

9. KH. Mohamad Arja Imroni. Kiai yang juga dosen di UIN Walisongo posonan tahun ini membaca kitab tafsir. Langsung saja disimak di sini.

10. KH M Kholid Syeirazi. Beliau merupakan Sekjen ISNU. Langsung saja disimak di sini.

Mohon maaf untuk yang nomor 5, 6 & 7 gak ada reviewnya sama sekali soalnya saya juga kurang kenal sama beliau berdua. Saya posting di sini karena beliau orang NU dan membuka pengajian kitab. Hehehe. 
Sementara cuma itu kiai-kiai yang live streaming selama bulan puasa. Kalau ada yang mau menambahkan silakan tulis di komentar.
Buat para jomlo, siapkan kuota yang banyak untuk menyimak pengajian-pengajian mereka. Apa? Kamu gak punya kuota? Sini tak ajarin caranya bisa internet gratis. Hahaha.
Manfaatkan Ramadan dengan mengaji. Mumpung ada Kiai besar yang live streaming. Daripada puasamu hanya dihabiskan untuk mbibrik orang yang belum jelas mau sama kamu. Mending buat ngaji, dapat pahala dan ilmu. Lumayan juga untuk melupakan mantan yang mau menikah setelah lebaran.
Lho, kok malah curhat!

Pict: kata-kata mantan teroris Bali. Copas dari fanpage Generasi Muda NU


Rabu, 16 Mei 2018

Tarawih

Dalam sejarahnya, Kanjeng Nabi memang hanya pergi tiga hari saja ke masjid untuk shalat terawih. Itupun hanya dilakukan pada tanggal 23, 25, dan 27 Romadhon saja. Shalat yang dikerjakannya pun hanya sampai 8 rakaat saja. Adalah Umar bin Khattab yang menjadikan shalat terawih 20 rakaat (belum termasuk witir) seperti sekarang ini. Kemudian Umar bin Abdul Aziz malah menambahkan jumlahnya menjadi 36 rakaat.

Tentang berapa jumlah rakaat shalat terawih yang sebenarnya memang rumit, serumit hubunganmu dengan gebetanmu lah. Uhuukk.

Awalnya memang Nabi hanya shalat terawih 3 hari saja masing-masing 8 rakaat. Nabi melakukannya karena khawatir shalat yang sedang dikerjakannya dianggap sebagai kewajiban oleh umatnya. Hal ini karena Nabi sudah memprediksi umatnya akan keberatan melaksanakannya (apabila diwajibkan). Mungkin Nabi sudah tahu bahwa di jaman akhir banyak mal-mal megah dibangun ditambah dengan diskon besar-besaran menjelang idul fitri yang pasti akan sangat sulit ditolak oleh ibu-ibu. Belum lagi pasar malam yang berisi aneka permainan dan cewek-cewek yang uuuwwwuuu yang kamprernya dibuka pas bulan Ramadhan. Belum lagi aneka ajakan bukber yang terkadang lokasinya jauh dari masjid sehingga mau terawih juga malas. Pokoknya terawih itu berat kalau diwajibkan.

Setelah 8 rakaat shalat terawih di masjid, Nabi kemudian pulang diikuti para sahabatnya. Namun, dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi dan para sahabat tetap melanjutkan shalat terawih sampai dua puluh rakaat. Hal ini dapat dibuktikan dari rumah-rumah para sahabat yang mengeluarkan suara gemuruh, seperti gemuruhnya suara lebah.

Kemudian shalat terawih sempat break beberapa tahun lamanya. Nah, kan, sama seperti hubunganmu dengan gebetan yang sempat break juga.

Umar bin Khattablah yang kemudian menghidupkan kembali sunnah ini. Akan tetapi dengan langsung menjalankannya 20 rakaat dan dilakukan secara berjama'ah di masjid. Umar menunjuk Ubai bin Ka'ab sebagai imam. Mengingat hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh Nabi, Umar menyebutkan bahwa jika ini bid'ah, maka inilah ni'matul bid'ah (sebagus-bagus bid'ah).

Adapun 36 rakaat yang dikerjakan oleh Umar bin Abdul Aziz dikarenakan beliau menjalankan terawih di Madinah, sedangkan saat itu di Masjidil haram setiap 4 rakaat shalat terawih selesai dilakukan thawaf satu kali. Thawaf hanya bisa dilakukan di Masjidil Haram sehingga Umar bin Abdul Aziz mengganti setiap thawafnya dengan 4 rakaat.

Sabtu, 12 Mei 2018

Posonan

Sepanjang ingatan saya, selama bulan Romadhon, pondok kami selalu membacakan kitab-kitab yang membahas tentang pernikahan. Dulu saya masih ingat pernah mengaji kitab Adabuzzifaf. Tradisi ini berlangsung dari tahun ke tahun dengan kitab yang berbeda-beda hingga sekarang kitab yang dikaji adalah Uqudul Lujain. Ini berarti bagus. Mengapa? Karena alumni dari pondok kami seharusnya tidak ada masalah ketika kelak menikah besok. Kami sudah tahu hak-hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami istri bahkan sejak kami belum melaksanakannya.

Persoalan hak dan kewajiban suami istri itu paling penting. Akan tetapi, kebanyakan orang justru tidak menyadarinya. Mereka menikah tanpa tahu apa saja yang harus dilakukan sebagai pasangan suami istri. Hal inilah yang kadang menjadi sumber konflik antara suami istri.

Suami, misalnya, wajib memberikan mahar kepada istrinya. Apalagi bagi istri yang sudah dikumpulinya, kewajiban membayar mahar tidak boleh ditunda-tunda lagi. Suami juga wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal yang layak bagi istrinya, menggaulinya dengan cara yang baik, tidak boleh melakukan kekerasan dan tidak boleh menghina istrinya.

Istri wajib taat kepada suami. Bagaimanapun juga, suami adalah pemimpin rumah tangga, sehingga seberapa tinggi pangkat istri atau seberapa besar penghasilannya suami tetaplah yang menjadi nahkoda rumah tangga. Istri juga harus selalu bersedia digauli, kecuali ada halangan syari, meskipun sedang tidak mood (dalam literatur klasik bunyinya memang seperti itu dan sekarang sudah banyak diprotes oleh aktifis gender hahaha). Istri juga sebenarnya tidak boleh keluar rumah tanpa ijin dari suami. (Wes ah semene wae pembahasan kewajiban-kewajiban, ndak ono seng protes: "halah koe wae durung nglakoni kok leeeeee". Wkwkwkwk)

Jangan pernah berharap literatur kitab kuning akan membahas tentang seks. Pembahasan dalam pernikahan tidak melulu soal seks saja. Nikah ya nikah. Seks adalah soal lain. Apakah ada pernikahan tanpa seks atau seks yang tidak berkualitas? Banyak. Apakah ada seks tanpa nikah? Itu malah lebih banyak lagi. Kalau mau tahu tentang seks ya jangan baca dari literatur kitab kuning yang beredar di pesantren (tentu saja ada kitab yang membahas tentang itu tapi biasanya tidak dibacakan secara umum. Hanya santri yang betul-betul pengalaman mutholaah berbagai kitab saja yang tahu), tapi baca saja kamasutra. Seingat saya dalam kitab Uqudul Lujain hanya dibahas tiga posisi seks. Satu disunahkan, dua dilarang. Selebihnya ya hanya membahas tentang seluk beluk rumah tangga.

Yang jadi persoalan saya pada kitab yang disajikan dalam posonan kali ini adalah dibacakannya kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi. Bukannya gimana-gimana ya, tapi Imam Nawawi itukan salah satu ulama yang sepanjang hayatnya menjomblo. Bahkan nih saya kasih tahu yaaa, sang imam sendiri ketika ditanya mengapa beliau tidak menikah beliau malah menjawab "Ma huwa nikah? Nikah iku makhluk opo to rek? Syaghaltu birobbi. Aku wes sibuk karo Pangeranku jeeeee". Lho, piye jhal?????? Esuk ngaji perkoro nikah maleh semangat anggone golek jodo, eeeeeee bengine malah ngaji kitab seng pengarange wae njomblo selawaseeeee. Ter-la-lu.

Etapi ini malah bagus nding. Mengingat sebentar lagi lebaran dan pasti ada saja mahluk kampret yang bertanya mengapa belum nikah-nikah juga tinggal jawab saja: "Saya terinspirasi dari Imam Nawawi yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk beribadah pada Allah".

Tarling: Akulturasi Dini Santri

Sebuah Refleksi. Setiap ramadan tiba, pesantren kami (Al-Munawwir, Gringsing) melakukan kegiatan yang mungkin tidak dilakukan pesantren lai...